Bulan Sya‘ban merupakan bulan yang di dalamnya terdapat berbagai peristiwa bersejarah, yakni peristiwa pengalihan arah kiblat dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Ka‘bah di Arab Saudi dengan penurunan Surat Al-Baqarah ayat 144, Surat Al-Ahzab ayat 56 yang menganjurkan pembacaan shalawat, diangkatnya amal-amal manusia menuju ke hadirat Allah SWT, dan berbagai peristiwa lainnya. Menilisik dari segi linguistik, Al-Imam ‘Abdurraḥmān As-Shafury dalam literatur kitab momumentalnya Nuzhatul Majâlis wa Muntakhabun Nafâ’is mengatakan bahwa kata Sya’bān (شَعْبَانَ) merupakan singkatan dari huruf shīn yang berarti kemuliaan (الشَّرَفُ). Huruf ‘ain yang berarti derajat dan kedudukan yang tinggi yang terhormat (العُلُوُّ). Huruf ba’ yang berarti kebaikan (البِرُّ). Huruf alif yang berarti kasih sayang (الأُلْفَة). Huruf nun yang berarti cahaya (النُّوْرُ).
Bila
ditinjau dari segi amaliyah, termaktub beberapa hal yang lazim dilaksanakan
pada malam Nisfu Sya’bān, yaitu membaca Surat Yasin sebanyak 3 kali yang
dilanjutkan dengan berdoa. Tradisi demikian selain sudah berkembang di
Nusantara ini juga menjadi amaliyah tahunan yang dilaksanakan secara rutin
terutama oleh masyarakat NU. Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah hadits
sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Dailami, Imam ‘Asakir, dan Al-Baihaqy berikut.
خَمْسُ لَيَالٍ لَا تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَةُ أَوَّلُ
لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبَ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَلَيْلَةُ الجُمْعَةِ
وَلَيْلَتَيِ العِيْدَيْنِ
Artinya,
“Ada 5 malam di mana doa tidak tertolak pada malam-malam tersebut, yaitu malam
pertama bulan Rajab, malam Nisfu Sya‘ban, malam Jumat, malam Idul Fitri, dan malam
Idul Adha.”
"DOWNLOAD KITAB FIQIH SYAFI'I"
مَنْ أَحْيىَ لَيْلَةَ العِيْدَيْنِ
وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ
القُلُوْبُ.
Artinya,
“Siapa saja yang menghidupkan dua malam hari raya dan malam Nisfu Sya‘ban,
niscaya tidaklah akan mati hatinya pada hari di mana pada hari itu semua hati
menjadi mati.”
وقد جمع دعاء مأثور مناسب للحال خاص
بليلة النصف من شعبان مشهور, يقرأه المسلمون تلك الليلة الميمونة فرادى وجمعا في
جوامعهم وغيرها يلقنهم احدهم ذلك الدعاء او يدعو وهم يؤمنون كما هو معلوم .
وكيفيته : تقرأ أولا قبل ذلك الدعاء بعد صلاة المغرب سورة يس ثلاثا .
Artinya,
“Sungguh telah dikumpulkan doa ma’tsūr yang terkait khusus dengan malam Nisfu
Sya‘ban. Doa ini dibaca oleh para muslimin pada malam penuh anugerah secara
sendiri-sendiri dan berjamaah. Seorang dari mereka menalqin doa tersebut dan
jamaah mengikutinya atau ada juga salah seorang yang berdoa dan jamaahnya
mengaminkan saja sebagaimana dimaklum. Caranya, pertama membaca Surat Yasīn 3
kali setalah shalat Maghrib yang diakhiri dengan berdoa.
Informasi
tersebut tentu bisa mengindikasikan bahwa melaksanakan ibadah pada malam Nisfu
Sya‘ban merupakan suatu anjuran dari syariat Rasulullah SAW. Oleh karena itu,
siapapun yang tidak sepakat dengan amaliyah untuk menghidupkan malam Nisfu
Sya’bān, tentu tidak sepatutnya memberikan kecaman yang tidak berdasar karena
sikap demikian selain dapat menganggu kerukunan antarmasyarakat juga dapat
mengganggu pelaksanaan ibadah bagi orang yang bersedia mengerjakannya.
Upaya
menata stabilitas hati dan pikiran merupakan sikap yang sangat bijak untuk
dapat diimplementasikan. Kita dianjurkan untuk memelihara persaudaraan sesama
Muslim. Di sisi lain penting untuk diperhatikan juga bahwa amaliah menghidupkan
malam Nisfu Sya‘ban merupakan persoalan furū’iyyah yang tetap membuka ruang
perbedaan tapi tetap dalam semangat yang saling toleran. Pelaksanaaan amaliyah
ini berfungsi untuk mempertebal keimanan hamba terhadap Tuhannya.
Oleh
karena itu, tidak sepatutnya untuk diarahkan pada dimensi sakralitas hukum.
Sakralitas hukum terhadap persoalan keimanan juga bisa berimplikasi pada
munculnya gesekan-gesekan. Selama semua amaliyah memiliki dasar dan pijakan
ilmu pengetahuan tentu tidak perlu untuk dipertentangkan. Perbedaan merupakan
suatu keniscayaan (sunnatullâh), tapi menyikapi perselisihan dengan hal yang
tidak bijak tentu semakin menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai luhur
keislamannya. Islam adalah agama yang fleksibel terkait perkara prinsip dasar
(ushuliyyah) bergerak secara eksklusif, sedangkan terkait perkara cabang
(furu’iyyah) bergerak secara inklusif. Urusan-urusan yang termasuk unity of
diversity (al-ijtimā’ fil ikhtilāf) merupakan bentuk keluasan dari ajaran Islam
itu sendiri. Wallahu a'lam. (Faruq Hamdi, Sekretaris LBM PWNU DKI Jakarta)